Pages

Labels

Selasa, 18 September 2012

the-innocence-of-muslims


“The Innocence of Muslims” may not have actually inspired the killings of four Americans in Benghazi, but news of the video has sparked protests in many Muslim countries. The video is crude, both aesthetically and ideologically. It was, presumably, intended to offend, and it is having that effect. But, like the Beijing Evening News editor who reprinted an Onion story verbatim, the people taking umbrage at “The Innocence of Muslims” are giving it more respect than it deserves.
Some have compared its director (whoever he or she really is) to Theo van Gogh, the Dutch provocateur who was murdered in retaliation for a short film he made. Van Gogh’s film was bad in many ways, but at least it strove for political and artistic merit. “The Innocence of Muslims” looks like a mere stunt. Watch any ten seconds of the “trailer” for it posted on YouTube (you can choose them at random; it won’t make much difference) and if you are a certain type of media consumer—one who frequents Buzzfeed, say, or Everything is Terrible—you will identify it as part of a genre. It’s a bad viral video, one of the innumerable pieces of flotsam that wash up daily on the Internet’s endless shore. Sadly, when translated into Arabic and stripped from its cultural context, “The Innocence of Muslims” seems like more than the sophomoric trifle it is.
In June, the video was posted to YouTube by a man calling himself Sam Bacile, who later claimed to be an Israeli Jew. It turns out that Bacile is probably Nakoula Basseley Nakoula, a Coptic Christian, a convicted fraudster, and an alleged meth cooker. (When an Associated Press reporter found Nakoula and asked for his driver’s license, Nakoula placed his thumb over his middle name, perhaps hoping to distract from its resemblance to Bacile.) He claims to have raised five million dollars to make the movie, but from the fourteen minutes available online, it’s hard to see where that money went, beyond the construction of a green screen and a trip to Party City. If the movie’s makers were aiming for a “Ten Commandments” vibe, they ended up with something that looks more like “History of the World: Part I” or a Busta Rhymes music video.
According to the Los Angeles Times, there is, or was, a feature-length version. For now, the fourteen-minute assemblage on YouTube is being called a trailer, but it has none of the attributes of one: no credits, no narration, no hint of a plot arc, certainly nothing that would make anyone want to see more. There is one actor playing Muhammad the whole time, and we are meant to understand that he is aging because his beard gets grayer. Other than that, the video is mostly non-narrative. Muhammad is portrayed as a drunk, a child molester, and a homosexual. (“Is the Master dominant or submissive?” asks an onlooker in a moment of helpful exposition. “Both,” Muhammad replies.) At one point, an unidentified man who looks like Merlin and talks like Rick Perry says of the Koran, “It will be a mix between subversions of—from the Torah, and subversions from the New Testament, and mix them into false verses.” The sound editing looks like it belongs on the Bad Lip Reading blog; this is because the actors were originally given an inoffensive script called “Desert Warriors,” and the audio was later overdubbed with references to Islam.
If Theo van Gogh is the wrong analogue, a better one might be the 2003 cult classic “The Room.” Often called the worst movie ever made, “The Room” is one of the few films that is truly so bad it’s good. Its director, Tommy Wiseau, is also an enigmatic man with a shadowy past. As Tom Bissell recounted in his fantastic non-profile of the director for Harper’s, Wiseau dodges all straightforward questions, especially the one he is asked most often: “Are you trying to be funny?” A magician does not reveal his tricks. “The Innocence of Muslims” shares the Art Brut novelty of “The Room,” but none of its magic. While the central question about “The Room”—Does it succeed at being comedy or fail at being melodrama?—is interesting enough to sustain a giddy two hours, the central question about “The Innocence of Muslims”—Does it succeed or fail at being reprehensible?—only leaves the viewer feeling sullied.

Jumat, 14 September 2012

Awas Kriminalisasi MA, Dilarang Buat Putusan yang Picu Kerusuhan


Jakarta Rancangan UU Mahkamah Agung (RUU MA) yang merevisi UU MA sebelumnya terus menjadi perdebatan panas di berbagai kalangan. Salah satunya adalah adanya pasal pengkriminalisasian putusan kasasi MA.

Dalam pasal 97 huruf B RUU MA itu dinyatakan 'MA dalam tingkat kasasi dilarang membuat putusan yang menimbulkan keonaran dan kerusakan serta mengakibatkan kerusuhan, huru-hara'. Benarkah ini kriminalisasi gaya baru?

Untuk mengulas pertanyaan tersebut, penulis melakukan pembahasan secara kritis dengan mengambil berbagai teori filsafat hukum yang ada. Berdasarkan pemikiran kritis ini, RUU MA secara substansi hukum tidak menjamin kepastian hukum karena substansi hukum ini tidak irasional.

Salah satunya penulis melandaskan kepada teori Lon Fuller yang menyatakan asas sebagai landasan dan syarat legitimitas (kepastian hukum) yaitu hukum dipresentasikan dalam aturan-aturan hukum secara rasional.

Berdasarkan teori di atas, ketentuan yang mengatur MA ini dipresentasikan dalam aturan umum. Artinya bukan secara universal terhadap seluruh hakim agung yang mengadili, yakni yang menerima, memeriksa dan memutus permohonan kasasi yang putusannya menimbulkan keonaran dan kerusuhan serta mengakibatkan kerusuhan, huru hara.

Namun ketentuan dalam RUU MA ini tidak rasional. Mengapa? Karena majelis kasasi di sini diharuskan bertanggung jawab dengan dipidanakan karena perbuatan yang dilakukan oleh subjek lain yakni subjek yang melakukan keonaran, kerusakan, kerusuhan dan huru hara.

Berdasarkan kriteria atau peringkat pemikiran itu, maka kita dapat menilai bahwa perbuatan tertentu yang melanggar kaidah hukum positif sebagai perbuatan yang salah atau tidak adil. Berdasarkan patokan tersebut, kita dapat menilai bahwa aturan hukum tertentu adalah tidak adil.

Dengan demikian kita dapat menemukan suatu aturan hukum positif, baik dan adil dalam pengertian yang radikal. Namun pernyataan baik dan adil, tidak dapat dimengerti dengan hanya menunjuk kepada kepada hukum positif yang digunakan untuk menilai tentang kebaikan.

Peringkat analisis yang fundamental untuk menentukan baik buruknya aturan hukum/sistem hukum adalah analisis moral.

Lagipula ketentuan hukum sebagaimana termaktub dalam RUU MA ini menyebabkan majelis hakim MA menjadi tidak bebas dalam mengadili, yakni dalam menerima, memeriksa, dan memutus perkara yang dihadapkan kepadanya MA. Oleh sebab itu, pasal terkait adalah bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 24 Perubahan ketiga UUUD 1945. Nah, berdasarkan pasal 24 C Mahkamah Konstitusi (MK), maka MK berwenang untuk menguji ketentuan UU termaksud.

Pembunuh Wanita di Hotel di Tomang Berprofesi Sebagai Dukun

 
Jakarta Polisi menangkap DD (60) yang diduga membunuh Martini (37) seorang pengusaha konveksi di Hotel Transit di Tomang, Jakbar. DD ditangkap di rumahnya di Semplak, Bogor dini hari tadi.

"Pelaku ini dikenal sebagai 'orang pintar'," kata sumber detikcom di Mapolres Jakbar, Sabtu (15/9/2012).

Sesuai perintah Kapolres Jakbar Kombes Pol Suntana, Tim Satgas segera dibentuk untuk mengungkap pembunuhan Martini yang ditemukan tak bernyawa di kamar 312 pada Jumat (14/9) siang. Tim reserse Polres Jakbar dengan bantuan Tim Reskrim Polsek Kebun Jeruk segera bergerak melakukan penyidikan. Hingga ditemukan bukti yang mengarah pada DD.

"Pada pukul 01.00 WIB, dini hari tadi pelaku ditangkap di Semplak, Bogor," bisik sumber itu.

DD atau Datuk tak melakukan perlawanan saat ditangkap. Awalnya, dia membantah terlibat pembunuhan, namun setelah ditunjukkan bukti, dia tak bisa mengelak.

"Kita bawa ke lokasi dan dia mengakui semuanya," jelas urai sumber itu. Datuk kini ditahan di Mapolres Jakbar. Sebelumnya Kapolres Jakbar Kombes Pol Suntana sudah membenarkan soal penangkapan ini.

Selasa, 11 September 2012

Mesin limbah meledak, pabrik di Bogor nyaris kebakaran


Sebuah pabrik tekstil PT Ever Shine Tex Tbk yang terletak di Jalan Raya Bogor-Jakarta nyaris terbakar, setelah mesin pengolahan limbah terkena percikan api.

Informasi dihimpun menyebutkan, peristiwa itu terjadi sekitar pukul 09.15 WIB, saat para karyawan sedang bekerja. Tiba-tiba terdengar suara ledakan yang berasal dari mesin pengolahan limbah.

Beruntung, percikan api tidak menjalar ke mesin pembuatan tekstil dan pengolahan limbah lainnya. Ditambah lagi, empat unit pemadam kebakaran Kota/Kabupaten Bogor didatangkan ke lokasi kejadian.

Kapolsek Sukaraja Kompol Basri Singka mengatakan dugaan sementara berdasarkan hasil olah tempat kejadian perkara (TKP), api diduga berasal dari percikan api las karbit.

"Kemudian api menjalar ke pengolahan limbah. Tapi api cepat dipadamkan dan sementara kita mengamankan dua tabung gas, dan potongan pipa besi yang di las, sebagai sumber kebakaran," katanya.

Ih! 4 Sungai di Dunia Ini Paling Bersampah


Jakarta Di Jakarta ada sungai sampah karena padat dengan tumpukan sampah sepanjang 5 km di Batu Ampar, Condet, Jakarta Timur. Di dunia, selain oleh sampah, limbah yang dibuang ke sungai itu juga limbah pabrik.

Berikut sungai-sungai paling tercemar di dunia seperti dilansir dari Take Part dan berbagai sumber:

Jumat, 07 September 2012

Avaya Aura Conferencing 7.0 Unjuk Gigi


Jakarta - Avaya, penyedia komunikasi bisnis dan sistem kolaborasi, software dan layanan, mengumumkan kehadiran Aura Conferencing 7.0. Ini merupakan versi terbaru dari solusi conferencing multi-moda dari Avaya.

Solusi Avaya Aura Conferencing 7.0 memungkinkan unified voice berbasis sesi dan kolaborasi web dari manapun menggunakan desktop Mac atau PC, tablet dan ponsel cerdas.

Didukung oleh arsitektur SIP terbuka berbasis standar Avaya Aura 6.2, Aura Conferencing 7.0 diklaim menyediakan skalabilitas tinggi dan keamanan yang disyaratkan oleh perusahaan serta memungkinkan adanya fleksibilitas yang dibutuhkan untuk kolaborasi mobile dan lingkungan-lingkungan BYOD.

Perusahaan ini juga mengumumkan ketersediaan Avaya Flare Experience untuk iPad, PC dan laptop berbasis Windows, serta versi baru platform unified communication Avaya Aura dan mobilitas yang diperluas untuk Avaya Communication Server 1000 (CS1000).

Berikut beberapa kemampuan lain Aura Conferencing 7.0:

-. Akses one-stop dari interface pengguna kolaborasi intuitif Avaya Flare Experience pada tablet-tablet iPad Apple dan PC atau laptop Microsoft Windows, untuk komunikasi dan kolaborasi multimoda, suara, berbagi dokumen, IM/presence, email dan korporat terkonsolidasi dan direktori personal.

-. Klien Collaboration Agent tanpa instalasi yang memudahkan peserta untuk berkolaborasi menggunakan browser web apapun atau iPhone, dan yang bekerja dengan mulus dengan klien Avaya Flare Experience pada tablet iPad dan PC/laptop Windows.

-. Kontrol visual dan kontekstual yang membantu menghilangkan sebagian besar atau semua gangguan yang sering ditemui pada sesi konferensi tradisional, seperti mengumumkan atau mengidentifikasi peserta, suara latar, identifikasi pembicara, dan lainnya.

-. Skalabilitas untuk menangani 7.500 sesi konferensi aktif yang mendukung pekerja yang ada di mana saja, sehingga menghilangkan atau mengurangi biaya layanan dari luar.

-. Arsitektur terbuka yang terdistribusi dan kecerdasan terintegrasi membantu mengurangi penggunaan bandwidth dan beradaptasi sesuai kebutuhan untuk memudahkan kerja jaringan dan anggaran.

Avaya Aura Conferencing 7.0 tersedia dengan biaya USD 140 per pengguna dengan interface browser Collaboration Agent dan USD 190 per pengguna dengan tambahan Avaya Flare Experience for Windows OS dan tablet iPad.

Solusi kolaborasi ini didukung oleh versi terbaru Avaya Aura (6.2) dan bisa terkoneksi baik dengan Avaya Aura Communication Manager maupun sistem-sistem Avaya CS 1000.

"Semua faktor ini memiliki elemen-elemen transformasional bisnis yang mempengaruhi perusahaan sehingga menghasilkan kolaborasi yang lebih ditingkatkan, pendapatan dan pemusatan pelanggan yang makin baik," pungkas Adrian Dominic Ho, Principal Analyst - Telecom and Managed Services, Networking Research, IDC Asia Pacifik.

Kabut Asap di Pekanbaru Belum Ganggu Aktifitas Penerbangan



PEKANBARU- Kabut asap yang beberapa hari terakhir menyelimuti Kota Pekanbaru membuat jarak pandang dan kesehatan terganggu. Kendati demikian, aktifitas jadwal penerbangan di Bandara Sultan Syarif Kasim Dua, Pekanbaru masih normal.

Menurut Airport Duty Manager, Hasnan, meski landasan pacu  diselimuti kabut asap namun jarak pandang mencapai 3.000 meter. Itu artinya, tidak ada gangguan buat aktifitas pesawat.

Ditambahkan Hasnan, batas ambang jarak pandang bagi pesawat yaitu berkisar diatas 1.000 meter. Jika jarak pandang kurang dari itu maka pihak bandara menggunakan instrumen sistem landing yaitu kedatangan dan keberangkatan pesawat dibantu oleh pihak bandara.

Dan jika jarak pandang sudah dibawah 500, maka kedatangan pesawat akan dialihkan ke bandara terdekat seperti Bandara Hang Nadim, Batam.