Pages

Labels

Jumat, 14 September 2012

Awas Kriminalisasi MA, Dilarang Buat Putusan yang Picu Kerusuhan


Jakarta Rancangan UU Mahkamah Agung (RUU MA) yang merevisi UU MA sebelumnya terus menjadi perdebatan panas di berbagai kalangan. Salah satunya adalah adanya pasal pengkriminalisasian putusan kasasi MA.

Dalam pasal 97 huruf B RUU MA itu dinyatakan 'MA dalam tingkat kasasi dilarang membuat putusan yang menimbulkan keonaran dan kerusakan serta mengakibatkan kerusuhan, huru-hara'. Benarkah ini kriminalisasi gaya baru?

Untuk mengulas pertanyaan tersebut, penulis melakukan pembahasan secara kritis dengan mengambil berbagai teori filsafat hukum yang ada. Berdasarkan pemikiran kritis ini, RUU MA secara substansi hukum tidak menjamin kepastian hukum karena substansi hukum ini tidak irasional.

Salah satunya penulis melandaskan kepada teori Lon Fuller yang menyatakan asas sebagai landasan dan syarat legitimitas (kepastian hukum) yaitu hukum dipresentasikan dalam aturan-aturan hukum secara rasional.

Berdasarkan teori di atas, ketentuan yang mengatur MA ini dipresentasikan dalam aturan umum. Artinya bukan secara universal terhadap seluruh hakim agung yang mengadili, yakni yang menerima, memeriksa dan memutus permohonan kasasi yang putusannya menimbulkan keonaran dan kerusuhan serta mengakibatkan kerusuhan, huru hara.

Namun ketentuan dalam RUU MA ini tidak rasional. Mengapa? Karena majelis kasasi di sini diharuskan bertanggung jawab dengan dipidanakan karena perbuatan yang dilakukan oleh subjek lain yakni subjek yang melakukan keonaran, kerusakan, kerusuhan dan huru hara.

Berdasarkan kriteria atau peringkat pemikiran itu, maka kita dapat menilai bahwa perbuatan tertentu yang melanggar kaidah hukum positif sebagai perbuatan yang salah atau tidak adil. Berdasarkan patokan tersebut, kita dapat menilai bahwa aturan hukum tertentu adalah tidak adil.

Dengan demikian kita dapat menemukan suatu aturan hukum positif, baik dan adil dalam pengertian yang radikal. Namun pernyataan baik dan adil, tidak dapat dimengerti dengan hanya menunjuk kepada kepada hukum positif yang digunakan untuk menilai tentang kebaikan.

Peringkat analisis yang fundamental untuk menentukan baik buruknya aturan hukum/sistem hukum adalah analisis moral.

Lagipula ketentuan hukum sebagaimana termaktub dalam RUU MA ini menyebabkan majelis hakim MA menjadi tidak bebas dalam mengadili, yakni dalam menerima, memeriksa, dan memutus perkara yang dihadapkan kepadanya MA. Oleh sebab itu, pasal terkait adalah bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 24 Perubahan ketiga UUUD 1945. Nah, berdasarkan pasal 24 C Mahkamah Konstitusi (MK), maka MK berwenang untuk menguji ketentuan UU termaksud.

0 komentar:

Posting Komentar